Dari kiri: Ayahanda Sri Wahyuni, Candiana, adik ketiganya, Eliana Apriliyanti, dan ibundanya Rosita Foto: Nuris AP/Jawa pos
ORANG tua Sri Wahyuni
menggelar pengajian dengan sajian tumpeng nasi kuning untuk mendukung
anak mereka berlaga di ajang Olimpiade. Tulang punggung keluarga, Yuni
juga rutin membagi sepatu dan kaus kepada anak-anak tetangga.
Nuris Andi P., Bandung
CANDIANA dan Rosita putus asa. Niat menonton perjuangan putri mereka, Sri Wahyuni Agustina, di Olimpiade tak kesampaian.
Padahal, sudah sejak Sabtu (6/8) dini hari
mereka memelototi televisi. Mereka tak tahu bahwa Yuni –sapaan akrab
Sri Wahyuni– baru dijadwalkan turun sehari kemudian. Tapi, ketika kembali begadang pada Minggu
dini hari (7/8) pun, tetap tak ada tayangan perebutan medali angkat besi
putri kelas 48 kilogram di televisi. Sampai kemudian telepon seluler Candiana
berdering kemarin pagi (7/8). Dalam kondisi masih menahan kantuk karena
begadang dua hari beruntun, diangkatnya telepon. Ada Junaidi, suami
Supeni, pelatih Yuni, di seberang sana.
Dengan kegembiraan meluap, Candiana
meneruskan kabar gembira dari Junaidi tersebut. ’’Itu si Yuni dapat
nomor dua,’’ teriak Candiana menirukan suara Junaidi kepada sang istri,
Rosita. Seketika rumah sederhana di Kampung Bojong
Pulus, Desa Banjaran Wetan, Kabupaten Bandung, itu larut dalam
keharuan. Rosita menangis, disusul Desi Nuryanti, adik Yuni, yang
tinggal di sebelah. Sedangkan Candiana tak putus-putus memanjatkan
syukur.
Sejak saat itu, tidak henti-hentinya
ucapan selamat datang kepada keluarga Yuni dari berbagai penjuru. Ponsel
Candiana berkali-kali berdering. Tamu hilir mudik berdatangan. Lifter 22 tahun tersebut lahir dan besar
di tengah keluarga sederhana. Pintu masuk ke gang rumahnya hanya bisa
dilewati sepeda motor. Kalau ada dua motor berjalan bersama, harus ada
yang mengalah untuk menepi.
Di depan rumah orang tua, ada rumah
kakeknya, Andin Lesmana. Di bagian belakang, ada satu tanah petak kosong
yang sudah menjadi milik Yuni. Di sebelahnya ada rumah adiknya, Desi,
yang kini sudah punya satu anak.
Di rumah orang tuanya itu, jerih payah
Yuni selama menggeluti angkat besi sejak berusia 13 tahun tersimpan.
Berjejer rapi deretan medali, piagam, serta boneka event di dalam lemari
kaca di ruang tamu rumahnya.
Di keluarga Yuni mengalir kuat darah
olahragawan. Candiana, sang ayah, dulu merupakan pelari jarak jauh di
level kabupaten. Itu pula yang dulu sempat membuat Yuni kecil berlatih
lari. Bahkan sempat mengikuti sebuah ajang lari 10 kilometer saat itu.
Tapi, minimnya ajang lari saat itu membuat Yuni berpaling ke angkat besi yang lebih dulu digeluti adiknya, Desi. ’’Suatu ketika Eneng (Yuni, Red) nangis ke
saya minta dibawa ke tempat latihan angkat besi di tempat Pak Maman
Suryaman,’’ ungkap Candiana. Maman merupakan sosok dedengkot angkat
besi di Jawa Barat. Bersama istrinya, Luki, mereka melihat potensi besar
seorang Yuni sejak usia 13 tahun. ’’Saat itulah Bu Luki minta Yuni biar
tinggal di mes,’’ ujar Rosita.
Sejak itu pula Yuni jarang pulang dan
ketemu keluarga. Sebagai gantinya, Rosita dan Candiana sering menjenguk
putri sulungnya tersebut di tempat latihan. Tidak jarang, mereka curi waktu untuk
memberikan camilan kesukaan Yuni, batagor. Maklum, dengan program
latihan dan pola makan yang diatur, Eneng –sapaan Yuni di keluarga–
tidak boleh sembarangan makan. Selain itu, setiap menjelang Yuni tampil
di sebuah event, keluarga selalu menggelar pengajian dengan warna-warni
tumpeng serta nasi kuning. ’’Boleh dikatakan tradisi karena kami ingin
melihat Eneng bisa dimudahkan dalam mengangkat beban,’’ terang Rosita.
Kini segala pengorbanan itu terbayar
lunas. Raihan medali perak Olimpiade 2016 tersebut membuatnya berhak
atas bonus Rp 2 miliar plus Rp 15 juta per bulan untuk tunjangan hari
tua.
Candiana dan Rosita menyerahkan sepenuhnya
penggunaan uang itu ke tangan Yuni yang kini kuliah di jurusan hukum
Universitas Bhayangkara, Jakarta. ’’Eneng sudah punya investasi rumah, tabungan, dan kini mau nambah tanah di samping jalan besar,’’ katanya. Menurut Candiana, Yuni menginginkan
keluarganya juga punya tempat tinggal yang lebih layak. Di mata
keluarga, Yuni merupakan tulang punggung. Setiap bulan dia tidak lupa
mentransfer sejumlah uang untuk kebutuhan sekolah adik-adiknya.
Selain Desi, Yuni punya dua adik yang
masih berstatus pelajar. Mereka adalah Eliana Apriliyanti, 13, dan
Rangga Arya Suhenda, 11. Termasuk menyisihkan sejumlah uang hadiah
medali perak Asian Games Incheon 2014 untuk biaya umrah orang tua. ’’Itu menjadi hadiah yang tidak terlupakan buat kami,’’ ungkap Rosita.
Di kalangan tetangga kampung, Yuni juga
dikenal luwes serta suka berbagi. Rade Karmana, salah seorang tetangga,
mengaku sering mendapat hadiah dari Yuni. ’’Kadang juga uang. Yang
paling sering, anak-anak dikasih sepatu dan kaus kejuaraan,’’ ucapnya. Kerendahan hati itu pula yang membuat
keluarga semakin yakin prestasi Yuni bakal terus meningkat. Apalagi
usianya masih muda. Setidaknya masih bisa mengikuti dua Olimpiade lagi.
’’Kami sebagai orang tua hanya bisa mendukung dan mendoakan,’’ tegas Candiana. (*/c5/ttg)
No comments:
Post a Comment