Riuh keceriaan terdengar di sudut sekolah di kawasan kompleks SMAN 7
di Cikokol, Kota Tangerang, itu. Para siswa dari Stella Maris High
School Belanda yang berjumlah 37 siswa berbaur dengan beberapa siswa
SMAN 7 Tangerang di ruang kelas yang sudah disiapkan.
Tidak ada yang istimewa dari ruang kelas tersebut. Seperti halnya
sekolah SMA pada umumnya, kursi dan meja yang menyambung khas ruang
belajar sudah tertata. Mereka duduk tanpa ada pengelompokan
kewarganegaraan. Mereka berbaur tanpa spasi. Masing-masing pun
menunjukkan bakat sebagai tanda seremoni pembukaan kegiatan yang
didukung oleh De Tara Foundation, sebuah LSM yang bergerak di bidang
lingkungan dan pendidikan.
Selain untuk mempelajari konservasi lingkungan, puluhan siswa asal
Belanda itu berkunjung ke SMAN 7 juga untuk mengenal Indonesia lebih
dekat. Hans, guru bahasa Belanda yang mendampingi para siswa Stella
Maris High School mengatakan, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati
yang luar biasa.
"Indonesia punya banyak pohon dan berbagai jenis satwa. Ini luar
biasa. Di sini ada berbagai jeni kopi dan teh yang aromanya sangat luar
biasa. Apalagi, orang Indonesia juga ramah. Ketika bertemu dengan orang
lain tersenyum dan kontak mata ketika berbicara. Itu sopan," ujar Hans
saat berbincang dengan Republika, Rabu (27/7).
Selama empat hari ke depan, para siswa Belanda tersebut tinggal
bersama house family yang sudah ditunjuk sekolah untuk memberikan
pelayanan penginapan dan makan selama berada di Kota Tangerang. House
family tersebut juga merupakan siswa SMAN 7 Kota Tangerang yang bersedia
memberikan penginapan dan makan gratis. House family ini pula yang
menjadi tour guide bagi mereka, baik saat berada di sekolah maupun di
luar sekolah.
Emma Mahmudah, guru SMAN 7 yang bertanggung jawab terhadap kegiatan
tersebut, menjelaskan, kegiatan ini berawal dari kegiatan global
exploration dari De Tara Foundation tahun lalu yang mengajak dua siswa
SMAN 7 Kota Tangerang dan satu siswa SMAN 78 Jakarta mempelajari
konservasi lingkungan di Belanda. Bedanya, kegiatan pada tahun lalu juga
diikuti perwakilan dari Nepal, Cina, Tanzania, dan India.
Kemudian perwakilan dari kelima negara tersebut diajarkan bagaimana
sistem pengolahan sampah di Belanda, khususnya di sekolah. "Kami studi
ke sekolah-sekolah agar tahu sistem pendidikan di sana, lalu ke rumah
sakit difabel, mudah-mudahan empati mereka meningkat. Kemudian juga
mempelajari recycling yang betul-betul memilah sampah menjadi beberapa
tingkat, bahkan ada yang diekspor ke luar negeri. Kalau di sini disebut
babe atau barang bekas,"' ujar Emma.
Salsabiella Ramadanti Abadi dan Nadira Eldyana, dua siswa SMAN 7 yang
berkesempatan mempelajari konservasi lingkungan dan sistem pendidikan
di Belanda tahun lalu, mengaku mendapatkan banyak pelajaran berharga
dari perjalanan sekitar 14 hari di Belanda tersebut. "Belajar dari
Belanda, mereka tertib banget. Mereka lebih suka menggunakan sepeda dan
transportasi umum daripada mobil pribadi. Respons pelayanan kesehatannya
bagus, misal, menelepon ambulans lima menit nyampe. Dari segi sekolah
juga mereka aware dengan difabel. Ada perlakuan khusus dan fasilitas
khusus dari sekolah untuk para difabel," kata Salsabiella yang akrab
disapa Bella.
Nadel, sapaan untuk Nadira, mengaku selama di sana juga belajar
banyak hal dari peserta negara lain. Mereka berdiskusi tentang
permasalahan global yang harus diatasi bersama. Peserta juga diberi
kesempatan untuk mengajar siswa SD di sana. Nadel mengaku memberikan
oleh-oleh kerajinan tangan yang dia buat bersama ibunya kepada anak SD
yang dia ajar. "Saat tampil di culture night kami menampilkan lagu
'Yamko Rambe Yamko' dengan angklung. Kami juga memakai baju adat
berbeda-beda, ada yang dari Padang, Jawa, dan sebagainya. Mereka
antusias dan senang melihat penampilan kami," ujarnya.
Benthen, salah satu siswa Stella Maris, mengaku, kultur di Indonesia
sangatlah berbeda dengan negaranya. Apalagi, dari segi makanan, menurut
dia makanan di Indonesia sangat pedas. "Di Belanda juga ada makanan
pedas, tapi di sini pedasnya berbeda," katanya.
Benthen juga sepakat dengan Hans. Ia menilai orang Indonesia ramah
dan terbuka kepada orang asing. Namun, dia mengeluhkan kemacetan yang
luar biasa yang dia alami selama berada di Indonesia. Ia pun mengaku
sudah mengunjungi Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta sebelum ke SMAN 7
Tangerang.
Benthen juga menganggap pengolahan sampah di Indonesia kurang baik.
Hal itu karena dia melihat tempat sampah yang berisi berbagai jenis
sampah. Padahal, di sekolahnya dia sudah terbiasa memilah sampah organik
dan anorganik.
Latipah Hendarti, Direktur De Tara Foundation, mengaku kegiatan
tersebut merupakan pemantik bagi siswa SMAN 7 agar lebih tertib membuang
sampah dan konservasi lingkungan. "Kalau mengajak bule yang sudah
terbiasa tertib seperti ini, mereka bisa langsung belajar dan malu
tentunya. Karena kalau kami hanya koar-koar, rasanya tidak cukup,"
jelasnya.
Red: Muhammad Fakhruddin
Oleh: Crystal Liestia Purnama/wartawan Republika
No comments:
Post a Comment